Narasi feminisme di era sekarang tidak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia. Sejak Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan dibentuk tahun 1998, [1]  advokasi kesetaraan gender yang progresif kian melaju di jagat Indonesia. Masyarakat sipil pun berbondong-bondong mengadvokasi kepentingan perempuan dengan kajian, dorongan perubahan regulasi dan pemberdayaan masyarakat. Negara semakin memperhatikan kesenjangan yang timbul akibat relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki seiring dengan gerakan internasional yang mendorong kesetaraan gender seperti Sustainable Development Goals (SDGs).

Kalimat yang paling sering terdengar tentu adalah pencapaian kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Namun, sebetulnya kesetaraan seperti apa yang ingin dicapai? Perempuan ingin disetarakan dengan laki-laki yang mana? Apakah kesetaraan adalah destinasi akhir gerakan feminis? Setelah kesetaraan terjadi, kemudian apa? Tulisan ini akan mencoba mengupas arti kesetaraan dan menguak salah kaprah kesetaraan.


Women's March in Stockholm, Sweden.
Sumber foto

Kesetaraan yang berasal dari kata setara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya sejajar, sama tingkatnya (kedudukannya) dan sepadan/seimbang. Namun, tentu KBBI menjelaskan kata kesetaraan secara etimologis dan tidak menganalisis konteks sosial dari kata tersebut. Kesetaraan terdengar indah bagi perempuan yang berada dalam subordinasi laki-laki dalam budaya yang kental dengan patriarki. Tapi sebetulnya perempuan ingin setara dengan laki-laki yang mana? Apakah perempuan kulit putih yang berada dalam usia produktif ingin disetarakan dengan laki-laki kulit hitam yang berusia baya? Apakah perempuan muslim di negara Islam ingin disetarakan dengan laki-laki penghayat di Kuningan, Jawa Barat?

Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki hanya dapat dibandingkan oleh dua raga (laki-laki dan perempuan) yang berada di posisi dan kedudukan yang sama. Kita tidak dapat mengesampingan faktor privilese yang dimiliki kelompok-kelompok tertentu ketika berbicara kesetaraan. Selain itu, kita perlu mengakui pula bahwa ada kesenjangan di antara laki-laki yang menyebabkan ketidaksetaraan di antara mereka seperti akibat perbedaan kelas, ras, etnis, dst. Kesetaraan tidak dapat dicapai tanpa melihat teori interseksionalitas. Maka dari itu, konsep kesetaraan menjadi kabur karena bahkan laki-laki kulit putih yang seringkali menjadi padanan ideal kesetaraan bagi perempuan bisa tidak setara antara satu dengan lainnya.

bell hooks adalah pemikir feminis kulit hitam pertama yang memperkenalkan konsep interseksionalitas dalam gerakan feminis. Ia menolak namanya ditulis dalam huruf kapital karena praktik demikian merupakan budaya patriarki yang membuat orang terfokus kepada nama dan kepribadiannya daripada kerja-kerja dan idenya. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa relasi gender tidak dapat dilepaskan dari ras, kelas dan jenis kelamin. Prinsip interseksionalitas menembus batas perjuangan feminis dari isu gender ke perjuangan perempuan secara holistik (yang tentu juga memperjuangkan laki-laki yang dilanggar haknya). Tapi tidak berhenti sampai di sana. bell hooks menyadari bahwa pada dasarnya ketidaksetaraan tidak muncul begitu saja tanpa sebab, namun karena adanya budaya patriarki. 

bell hooks. Photo by: Karjean Levine/Getty Images
Sumber foto

Pencapaian kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak menyelesaikan persoalan adanya budaya patriarki yang menjadi momok dominasi kelas dan opresi terhadap perempuan. Oleh karenanya, kesetaraan adalah capaian antara, bukan destinasi akhir. Destinasi akhir tentu adalah tumpasnya budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua yang tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tidak memiliki ruang gerak di ranah publik dan terkekang oleh peran gender yang dibuat oleh masyarakat heteronormatif.

Gerakan feminis interseksional memiliki tantangan baru untuk mengubah pola pikir pencapaian kesetaraan kepada penumpasan budaya patriarki yang merugikan laki-laki dan perempuan. Kesetaraan sebagai capaian antara dapat terjadi dengan adanya perluasan ruang gerak perempuan di ranah publik dan privat, misalnya dengan tindakan afirmatif, pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga, hingga penghapusan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang membatasi perempuan untuk berkarya bagi diri dan bangsa. Namun, perubahan-perubahan tersebut belum menjawab persoalan budaya patriarki yang terhegemoni dalam benak masyarakat selama ratusan hingga ribuan tahun lamanya.

Kesetaraan dalam mengemban pendidikan belum berarti bahwa persepsi masyarakat agar perempuan tidak perlu bersekolah tinggi karena akan berakhir di dapur telah berubah. Kesetaraan untuk memilih menjadi pekerja karir belum berarti bahwa tuntutan masyarakat agar perempuan segera kawin karena ibarat kue natal, akan tidak lagi dimininati setelah lewat umur 25 tahun, sudah berubah. Kesetaraan dalam mata hukum belum tentu terjadi ketika perempuan korban pemerkosaan masih disalahkan karena pakaian yang ia kenakan atau akibat dari larutnya ia kembali ke rumah. Semua persepsi ini adalah akibat budaya patriarki yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya di Indonesia tapi di seantero dunia. Budaya patriarki harus ditumpaskan mulai dari hal-hal kecil yang seringkali tidak kita sadari seperti mengajarkan kepada anak kita bahwa laki-laki boleh menggunakan baju berwana merah jambu dan perempuan boleh bermain mobil-mobilan. Perempuan seharusnya bebas untuk menjadi ibu rumah tangga dan perempuan karir, bahkan ia dapat menjalankan keduanya secara bersama karena pada dasarnya manusia memiliki karakteristik multi-peran. Seorang perempuan dapat menjadi ibu, kakak, anak, istri, tetangga dan buruh dalam satu waktu.

Kesetaraan tentu perlu dicapai pada kondisi-kondisi tertentu, namun sepatutnya tidak berhenti di sana. Membuka diri kepada ragam pengetahuan baru akan lebih baik daripada menerapkan satu pisau analisis untuk menjadi tolok ukur pikiran. Mendekonstruksi pola pikir patriarki memang menjadi tantangan berat, namun tidak ada jalan lain untuk mengubahnya selain memulai. Mari tumpas budaya patriarki.

Referensi:
[1] Komnas Perempuan, Berdirinya Komnas Perempuan. https://www.komnasperempuan.go.id/sejarah