Guyonan (prank) yang dilakukan dan diunggah oleh seorang YouTuber, Ferdian Paleka, bersama teman-temannya yang memberikan sembako berisi sampah kepada transpuan di Kota Bandung jelas merupakan bentuk transfobia yang diwujudkan dalam lawakan. 

Transfobia adalah ketidaksukaan atau prasangka buruk yang ditujukan kepada kelompok transgender dan transeksual. Ketidaksukaan dapat diungkapkan dalam bentuk nyata seperti dengan melakukan kekerasan fisik dan verbal, maupun secara terselubung seperti membuat lawakan transfobik.

Mungkin Ferdian merasa bahwa konten yang diunggah tersebut akan mendatangkan kejayaan bagi kehidupan sosialnya dengan harapan didukung orang banyak atau memang ia hanya pendek akal. Namun, masyarakat Indonesia masih waras dan justru mengecam video prank tersebut karena dianggap melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Transgender sebagai kelompok minoritas
Kelompok transgender termasuk ke dalam terminologi payung queer dan mewakili huruf ‘T’ dalam LGBTQ. Mereka adalah kelompok yang termarginalisasi dan tersingkirkan dari masyarakat karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang ada. Tidak hanya di Indonesia, mereka dianggap bertentangan dengan mayoritas nilai di seluruh dunia. Entah siapa yang menetapkan standar nilai tersebut.

Pride March
Sumber foto

Kelompok transgender menjadi korban dari kemiskinan struktural yang berangkat dari ketidakadilan sistem dan struktur yang berlaku di masyarakat dan kemudian menciptakan diskriminasi terhadap mereka. Maka dari itu, banyak transgender yang mencari penghidupan dari kerja-kerja yang dianggap amoral, karena masyarakat kita tidak membuka ruang bagi mereka untuk bekerja di sektor yang dianggap ‘normal’. 

Negara seharusnya hadir sebagai entitas yang memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM), termasuk bagi kelompok transgender. Namun, berdasarkan penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat berjudul Kelompok Minoritas Seksual Dalam Terpaan Pelanggaran HAM tahun 2018, terdapat 234 LGBTQ korban stigma, diskriminasi dan pelanggaran HAM. Lebih lanjut, di tahun 2018 saja, penelusuran media yang dilakukan LBH Masyarakat menemukan 11 pemberitaan usulan peraturan daerah diskriminatif.[1]
 
Catatan yang sama disampaikan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang menemukan setidaknya 22 peraturan daerah yang secara eksplisit mencantumkan istilah homoseksual dan waria, serta 45 peraturan daerah lain yang secara tidak langsung mengarah ke kelompok LGBTQ. Seluruh aturan tersebut mengatur tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat.[2] Ditambah dengan rencana kriminalisasi LGBTQ dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).[3] Ironi, negara justru melanggengkan diskriminasi dengan membuat peraturan-peraturan yang melanggar Konstitusi dan kesetaraan di mata hukum (equality before the law). 

Keadilan bagi transgender
Pertama, hapus pasal-pasal dan peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi kelompok transgender maupun LGBTQ di Indonesia. Mulai dari peraturan daerah hingga Undang-Undang yang secara nyata berpotensi melanggar HAM kelompok LGBTQ, maupun yang secara terselubung seperti diskriminasi hak atas identitas dan kesehatan. 

Rainbow flag in the rain.
Sumber foto

Kedua, aparat penegak hukum menindak tegas tindakan-tindakan kebencian yang ditujukan kepada kelompok LGBTQ dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks Ferdian, ia jelas melakukan tindakan kebencian terhadap transpuan dan harus dihukum secara proporsional. Namun, perlu dilihat kembali bahwa pasal yang dikenakan terhadap dirinya adalah pasal karet dan bermasalah di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yaitu Pasal 27 (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.[4] Prinsip fair trial (peradilan yang jujur dan adil) serta pemenuhan hak-haknya sebagai tersangka juga harus dipenuhi agar tidak terjadi pelanggaran HAM selama proses hukum berjalan.

Ketiga, edukasi dan kampanye keberagaman gender harus menjadi prioritas dari negara dan masyarakat Indonesia. Pendidikan mengenai SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristics) dapat menjadi solusi untuk mengurai akar permasalahan diskriminasi kepada kelompok LGBTQ. 




[1] Genia Teresia, Kelompok Minoritas Seksual Dalam Terpaan Pelanggaran HAM, Seri Monitoring dan Dokumentasi 2019 Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 2019. https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2019/07/Laporan-Mondok-Stigma-dan-Diskriminasi-LGBT-2018_Finaleee.pdf
[2] BBC Indonesia, Marak perda anti-LGBT ‘demi moral publik’, bagaimana nalar hukumnya?, 2018. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46170154
[3] Kristian Erdianto, Perluasan Pasal Zina dan Kriminalisasi LGBT dalam RKUHP, 2018. https://nasional.kompas.com/read/2018/01/23/08121031/perluasan-pasal-zina-dan-kriminalisasi-lgbt-dalam-rkuhp?page=all
[4] Setyo Puji, Jadi Tersangka, YouTuber Ferdian Paleka Terancam 12 Tahun Penjara, 2020. https://regional.kompas.com/read/2020/05/08/20565121/jadi-tersangka-youtuber-ferdian-paleka-terancam-12-tahun-penjara