Kudeta militer menandai krisis demokrasi di Myanmar yang akan berdampak pada situasi politik global dan regional. Junta Militer di Myanmar menjadi peringatan bagi Indonesia sebagai negara tetangga tentang potensi masuknya populasi pengungsi asal Myanmar, terutama etnis Rohingya sebagai etnis minoritas yang terpersekusi. Pemerintah Indonesia seharusnya memperkuat kebijakan penerimaan pengungsi dan memberikan perlindungan yang cukup terhadap hak-hak dasar pengungsi sebagai bagian dari komitmen mereka di kancah internasional.

Myanmar saat ini menghadapi kudeta pertama terhadap pemerintah sipil sejak tahun 1962. Di balik kudeta tersebut adalah penolakan dari militer Myanmar terhadap hasil pemilihan umum pada tanggal 2020[1] November yang lalu dengan rasio kemenangan 83% untuk National League for Democracy (NLD). Sejak kudeta telah secara diumumkan melalui Stasiun TV Militer Myawaddy, Ketua NLD dan pemimpin sipil Myanmar telah ditahan, termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint.[2] Myanmar menjadi negara Asia Tenggara pertama yang mengalami kudeta selama krisis Covid-19.

Berdasarkan Laporan Statistik Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia pada 2020 Desember, Indonesia menjadi rumah bagi 13.743 pengungsi dan pencari suaka. Populasi pengungsi Myanmar di Indonesia menempati peringkat ketiga dalam jumlah, tepat di bawah Somalia dan Afghanistan.[3] Banyak dari pengungsi Myanmar di Indonesia merupakan bagian dari kelompok minoritas yang paling terpersekusi di dunia yaitu etnis Rohingya.

Sejak 2011 hingga 2016, SUAKA Indonesia mendokumentasikan setidaknya tiga mobilisasi besar pengungsi Rohingya ke Indonesia pada tahun 2009, 2012 dan 2015 yang diterbitkan dalam penelitian yang berjudul Barely Living.[4] Eksodus terbesar terjadi pada tahun 2015 dengan jumlah sekitar 1,500 orang, campuran pengungsi Rohingya dan Bangladesh diselamatkan oleh nelayan di Aceh setelah mengapung di laut selama berhari-hari. Kejadian ini sekarang diingat sebagai krisis Bengal atau krisis Laut Andaman. Satu tahun setelah kejadian, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (Perpres 125/2016).

December | 2016 | Suaka
SUAKA's Barely Living
Source

Pada tahun 2020, hampir 400 pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari persekusi di Myanmar kembali terdampar di Aceh setelah perjalanan berbahaya di laut.[5] Para pengungsi datang dalam dua gelombang dengan membawa banyak perempuan, anak-anak, perahu rusak dan rasa kesedihan mendalam akibat hilangnya nyawa kawan-kawannya dalam proses embarkasi. SUAKA mencatat kurangnya respon cepat dan kepatuhan Pemerintah Indonesia sesuai dengan Perpres 125/2016 dalam menyelamatkan pengungsi Rohingya di atas kapal dan melindungi hak-hak dasar mereka di Indonesia.[6] Perpres 125/2016 sebagai satu-satunya pengakuan hukum bagi pengungsi di Indonesia hanya mengatur tentang teknis dalam menerima pengungsi asing ketika mereka memasuki wilayah Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut dibuat dengan perspektif keamanan nasional, bukan atas dasar kemanusiaan dan menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM). Hingga saat ini, belum ada peraturan yang komprehensif tentang isu pengungsi di Indonesia yang dibuat dengan menjunjung tinggi prinsip perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM.

Bentrokan di Myanmar menjadi pengingat bahwa Indonesia menjadi harapan bagi korban persekusi yang kabur dari negara asalnya akibat konflik, bahkan selama Covid-19. Di bawah junta militer, besar kemungkinan Indonesia akan terus menjadi tujuan bagi para pengungsi Myanmar, khususnya jika melihat sejarah pergerakan pengungsi Rohingya ke Indonesia dan mempertimbangkan kondisi geografis. Terlebih lagi, pilihan pengungsi Rohingya di Indonesia untuk kembali secara sukarela dapat dianggap mustahil dalam kondisi penggulingan pemerintahan Myanmar sekarang.  Mengingat bahwa pemimpin militer Myanmar, Sr. Gen. Min Aung Hai, secara langsung terlibat dalam "operasi pembersihan" terhadap kelompok Muslim Rohingya pada tahun 2017.[7] Indonesia harus mempersiapkan diri bilamana kondisi yang terburuk terjadi karena sejarah kelam diskriminasi etnis Rohingya di Myanmar hanya akan diperburuk dalam pergolakan ini.

Pada tahun 2021, Perpres 125/2016 memasuki tahun implementasi kelima. Pemerintah Indonesia seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk mengevaluasi implementasi dan menganalisis bilamana peraturan itu melindungi hak dasar pengungsi selama berada di Indonesia. Evaluasi Perpres 125/2016 harus mempertimbangkan untuk mengubah pendekatan keamanan dan primordialis yang selama ini digunakan, serta mulai mengadopsi prinsip inklusivitas dan perspektif HAM. Evaluasi ini harus melibatkan partisipasi aktif elemen masyarakat sipil, komunitas pengungsi dan organisasi internasional yang relevan untuk memperoleh masukan.

SUAKA Indonesia - Home | Facebook
Access to Justice for Refugee
Source

Indonesia juga perlu menyusun strategi jangka panjang untuk memperkuat kebijakan perlindungan pengungsi nasional. The commitment of Indonesian government towards refugee protection should not be measured by humanitarian and charitable actions, but through creation and enforcement of comprehensive right-based policies. The normative rights protection should be enacted in the form of Law (Undang-Undang) as opposed to the Perpres 125/2016 which is not fit to regulate normative rights protection.

Kementerian Luar Negeri Indonesia dapat berkontribusi dalam menghilangkan akar permasalahan konflik di Myanmar dengan membuat tekanan eksternal terhadap pemerintah Myanmar terkait praktik diskriminasi dan eksklusi terhadap etnis Rohingya, serta mengecam kudeta militer anti-demokrasi yang terjadi saat ini. Dengan melakukan tindakan-tindakan tersebut, Indonesia menjalankan mandat Pembukaan Konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan.

Tulisan ini telah terbit di The Jakarta Post dalam bahasa Inggris dengan judul Myanmar coup flags potential refugee influx to Indonesia.

[1] BBC News, Myanmar: partai Aung San Suu Kyi memenangkan mayoritas dalam pemilihan, 2020. https://www.bbc.com/news/world-asia-54899170

[2] The New York Times, Myanmar’s Coup: Explained, 2020. https://www.nytimes.com/article/2021-myanmar-coup.html

[3] UNHCR Indonesia, Monthly Statistical Report – December 2020, 2020.

[4] SUAKA Indonesia, Barely Living, 2016.

[5] Sania Mashabi, Menlu: Indonesia Tampung Sementara 396 Pengungsi Rohingya Sepanjang, 2020. https://nasional.kompas.com/read/2020/10/22/19462581/menlu-indonesia-tampung-sementara-396-pengungsi-rohingya-sepanjang-2020

[6] SUAKA Indonesia, PRESS RELEASE: Pengungsi Rohingya: Kemanusiaan yang Utama,. 2020. https://suaka.or.id/2020/06/25/press-release-pengungsi-rohingya-kemanusiaan-yang-utama/

[7] Human Rights Watch, Myanmar: Military Coup Kills Fragile Democracy, 2021. https://www.hrw.org/news/2021/02/01/myanmar-military-coup-kills-fragile-democracy