Undang-Undang Cipta Kerja yang
lebih dikenal dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) terus menjadi kontroversi,
bahkan di tengah situasi penyebaran virus corona (covid-19) di berbagai wilayah
Indonesia. Pada 2 April 2020, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di
Senayan, Jakarta, membacakan Surat Presiden tanggal 7 Februari 2020 dan
menyepakati untuk menyerahkan RUU Cipta Kerja untuk diserahkan ke Badan
Legislasi.[1]
Satu hari setelahnya di tanggal 3 April 2020, Menteri Kesehatan Republik
Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan
Covid-19 (PMK PSBB). PMK PSBB mengatur mengenai bagaimana permohonan dan
penetapan PSBB, batasan-batasan apa yang diatur dalam PSBB dan pengecualiannya,
pencatatan dan pelaporan, serta pembinaan dan pengawasan PSBB.
#TolakOmnibusLaw Sumber foto: Gerakan #TolakOmnibusLaw |
Hingga 17 April 2020, Menteri
Kesehatan telah menerbitkan Surat Keputusan Penetapan PSBB untuk 12 daerah dan
3 tiga provinsi, yakni DKI Jakarta sejak 7 April 2020, Jawa Barat sejak 11
April 2020 dan Banten sejak 18 April 2020.[2]
Kedua SK ini berlaku selama masa inkubasi terpanjang covid-19 yaitu 14 (empat
belas) hari dengan kemungkinan perpanjangan jika terdapat bukti penyebaran. Pelaksanaan
PSBB dalam Surat Keputusan ini dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah PMK PSBB.
Secara sederhana, PMK PSBB
mengatur mengenai 6 (enam) pembatasan. Pertama, peliburan sekolah dan tempat
kerja. Kedua, pembatasan kegiatan keagamaan. Ketiga, Pembatasan kegiatan di
tempat dan fasilitas umum. Keempat, pembatasan kegiatan sosial dan budaya.
Kelima, pembatasan moda transportasi. Keenam, pembatasan kegiatan lain
khususnya terkait aspek pertahanan dan keamanan. Setiap pembatasan di atas
memiliki pengecualian yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan,
fatwa, hingga pandangan lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah.
Kegiatan sosial dan budaya adalah
salah satu kegiatan yang dibatasi selama periode PSBB. Pembatasan kegiatan
sosial dan budaya yang dimaksud dalam Lampiran PMK PSBB adalah larangan
kerumunan orang dalam kegiatan seperti perkumpulan atau pertemuan politik,
olahraga, hiburan, akademik dan budaya. Ya, pertemuan politik dilarang oleh PMK
PSBB.
Pada tanggal 7 April 2020, Wakil
Ketua Badan Legislasi (Baleg), Willy Aditya menyatakan akan melakukan rapat
kerja dengan pemerintah untuk menanyakan kesiapan pemerintah melalui presentasi
rancangan Omnibus Law Cipta Kerja.[3]
Faktanya, rapat kerja dilaksanakan pada 14 April 2020 secara langsung di kompleks parlemen,
Senayan, Jakarta. Menko Perekonomian, Menteri Hukum dan HAM serta Menteri
Ketenagakerjaan hadir fisik dalam rapat tersebut.[4]
Setelah rapat kerja, Willy menyatakan bahwa akan dibuat Panitia Kerja untuk
membuat Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan menggelar Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU). Ketua Baleg yang memimpin rapat kerja tersebut, Supratman Andi
Agtas sempat menyatakan bawa pelibatan publik dapat dilakukan secara virtual.[5]
Pertemuan politik ini jelas melanggar Peraturan Menteri Kesehatan yang
dikeluarkan Terawan dan Surat Keterangan PSBB DKI Jakarta. Pemerintah menyalahi
aturan yang mereka buat sendiri.
Proses pembahasan Omnibus yang
terburu-buru di situasi covid-19 adalah agenda yang wajib dipertanyakan. Wakil
Ketua Baleg menyatakan bahwa Omnibus Cipta Kerja adalah janji politik DPR
kepada Presiden Jokowi sekaligus menjadi formula untuk keluar dari krisis. [6]
Pernyataan ini sungguh sarat kepentingan dan asumtif. Tidak ada yang bisa
menjamin pengesahan Omnibus Cipta Kerja akan menyelamatkan Indonesia dari
krisis. Justru mungkin terjadi sebaliknya akibat menurunnya daya beli puluhan
ribu tenaga kerja yang semakin miris hidupnya di bawah tekanan pengusaha,
rusaknya ratusan ribu hektar alam akibat ekploitasi dan terjadinya kesemrawutan
tatanan hukum Indonesia.
Sejak awal, memang proses
pembahasan Omnibus ini tidak transparan dan sarat kepentingan pengusaha. Hal
ini dapat dilihat dari komposisi satuan tugas Omnibus Law yang didominasi
pengusaha dan aturan-aturan di dalamnya yang sangat bermasalah.[7]
Pasalnya, memang pertemuan
politik yang dilarang oleh PSBB adalah pertemuan langsung dan tidak ada
larangan untuk melakukan pertemuan virtual. Namun, DPR dan pemerintah tidak
peduli dengan kondisi covid dan secara heroik tetap menghadiri rapat kerja di
kompleks parlemen. Persoalan lain adalah apakah pertemuan virtual dapat
dikatakan bisa menampung aspirasi rakyat? Belum tentu.
Pertemuan virtual sangat
berpotensi mendiskriminasi kelompok-kelompok terdampak, khususnya mereka yang
belatarbelakang ekonomi menengah ke bawah. Asumsi bahwa semua orang memiliki
gawai dan akses internet adalah pandangan yang takabur oleh privilese.
Pembentukan peraturan perundang-undangan wajib melibatkan partisipasi publik.
Konstitusi kita mengatur mengenai partisipasi politik, sehingga DPR tidak dapat
begitu saja menyepelekan peran publik dalam pembuatan suatu aturan baru.
Pemerintah tidak perlu ngibrit dalam mengesahkan Omnibus
pertama di Indonesia karena tidak ada yang bisa menjamin produk ini dapat
mendongkrak perekonomian dan investasi negeri ini. Terlebih lagi jika dalam
prosesnya akan mengorbankan tatanan negara hukum, demokrasi, kesejahteraan
masyarakat dan keberlanjutan lingkungan hidup. Sebaiknya pemerintah menyepak
kembali proses pembuatan Omnibus ini ke tahap awal pembahasan dengan
restrukturisasi Satuan Tugas Omnibus Law yang komposisinya dapat merepresentasi
kalangan umum seperti serikat buruh, perwakilan kelompok perempuan dan
marginal. Bukan pengusaha saja karena pada akhirnya Omnibus ini akan berlaku
bagi seluruh lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.
Pembahasan juga harus dilakukan
secara tatap wajah dan terbuka setelah masa pandemi dinyatakan selesai oleh
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization). Hal ini menjadi penting agar
memastikan setiap orang dapat memiliki akses untuk berpartisipasi secara
politik. Dengan demikian, DPR juga dapat meyakinkan publik bahwa tidak ada
agenda tersembunyi dari dikebutnya pengundangan Omnibus Cipta Kerja.
Jokowi harus memastikan bahwa
proses penetapan dan pengundangan Omnibus Cipta Kerja yang akan dilakukan telah
melalui proses pembahasan yang komprehensif dan mengadopsi saran dan masukan
setiap elemen masyarakat. Tidak hanya didengar saja oleh DPR di RDPU, tapi
diadopsi substansi masukannya dalam aturan. Kita tidak butuh formalitas. Jika
tidak, maka pemerintahan Jokowi sebetulnya sudah tidak lagi demokratis, tapi
pura-pura demokratis.
Fungsi DPR Sumber: UUD 1945 Amandemen Keempat |
Jika DPR tidak membahas Omnibus
Cipta Kerja, kerja apa yang bisa dilakukan sekarang? Perlu diingat bahwa fungsi
DPR menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen Keempat bukan hanya fungsi
legislasi, tapi juga fungsi anggaran dan pengawasan. Kedua fungsi tersebut bisa
dimaksimalkan dalam menanggulangi covid-19. Misalnya bersama pemerintah
membahas alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk penanggulangan
covid-19, terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Sedangkan fungsi
pengawasan dapat dilakukan untuk meninjau efektivitas peraturan
perundang-undangan yang berlaku terkait dengan penanganan covid-19 seperti
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun dan
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan maupun peraturan terkait lainnya.
∞
[1]
Tsarina Maharani, Surpres Dibacakan, Draft
Omnibus Law RUU Cipta Kerja Segera Dibahas Baleg DPR, 2020. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/02/17542431/surpres-dibacakan-draf-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-segera-dibahas-baleg-dpr
[2]
Ardito Ramadhan, Pemerintah Setujui PSBB
di 17 Daerah, Ini Rangkuman Sejumlah Wilayah, 2020. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/18/07492811/pemerintah-setujui-psbb-di-17-daerah-ini-rangkuman-sejumlah-wilayah
[3]
Putra Ananda, Dibutuhkan untuk Keluar
dari Krisis, Alasan DPR Bahas Omnibus Law, 2020. https://mediaindonesia.com/read/detail/303312-dibutuhkan-untuk-keluar-dari-krisis-alasan-dpr-bahas-omnibus-law
[4]
Tsarina Maharani, Perdana, Rapat Kerja
DPR-Pemerintah Bahas Draf Omnibus Law, 2020. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/14/15180041/perdana-rapat-kerja-dpr-pemerintah-bahas-draf-omnibus-law
[5]
Budiarti Utami Putri, Bahas Omnibus Law
Saat Corona, DPR: Publik Bisa Terlibat Virtual, 2020. https://nasional.tempo.co/read/1328722/bahas-omnibus-law-saat-corona-dpr-publik-bisa-terlibat-virtual
[6]
Putra Ananda, op. cit.
[7]
Andrian Pratama Taher, Komposisi
Bermasalah Satgas Omnibus Law, 2019. https://tirto.id/komposisi-bermasalah-satgas-omnibus-law-enEn
0 Comments
Post a Comment