Demokrasi di pemerintahan Joko Widodo hanyalah sebatas angan-angan karena mereka yang mengkritisi, dihabisi. Sejak awal periode pertama kepresidenan Joko Widodo di tahun 2014 hingga sekarang, fokus utama pemerintah adalah pengembangan ekonomi meskipun dalam praktiknya harus mengorbankan demokrasi, negara hukum, lingkungan yang baik dan sehat serta kesejahteraan masyarakat. 

Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai institusi pemerintah mencatat penurunan demokrasi Indonesia sejak awal Joko Widodo menjabat hingga 2018. IDI tahun 2014 mencapai angka 73,04 dari 100,[1] sedangkan pada tahun 2018 hanya mencapai angka 72,39.[2] Kita bisa melihat bahwa BPS saja menilai adanya penurunan kualitas demokrasi sejak awal Indonesia berada di bawah pimpinan pemerintahan Joko Widodo, apalagi catatan masyarakat sipil.

Perkembangan IDI 2009-2018
Sumber foto

Pemerintahan Joko Widodo terus-menerus menggerus demokrasi dengan upaya-upaya pembungkaman kebebasan sipil. Pada tahun 2017, pemerintah melalui DPR menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Organisasi Masyarakat (UU Ormas).[3] Selanjutnya, DPR mengesahkan Perppu Ormas menjadi Undang-Undang yang menciptakan gebrakan baru dalam mendorong kemunduran demokrasi, yaitu memperbolehkan pemerintah membubarkan ormas tanpa melalui instansi pengadilan yang jelas melanggar kepastian hukum,  serta hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin Konstitusi.[4] Berlakunya UU Ormas terbaru ini dapat dengan mudah membubarkan ormas yang kritis terhadap pemerintah.

Selanjutnya adalah pembungkaman siapapun yang aktif menyuarakan pendapatnya, khususnya dalam mengkritisi pemerintah. Pada tahun 2017, Dhandy Dwi Laksono, seorang jurnalis dan aktivis dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menghina dan menebar kebencian terhadap Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo.[5] Pasal penghinaan presiden adalah pasal karet yang sering dikenakan kepada mereka yang dengan lantang menyuarakan ekspresinya untuk mengkritik penguasa. Mahkamah Agung telah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, agenda orde baru ternyata bersemayam dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.

Polemik Pasal Penghinaan Presiden
Sumber foto

Aksi reformasi dikorupsi pada 24-30 September 2019 merupakan gelombang aksi terbesar kedua se-Indonesia setelah aksi menuntut reformasi 1998. Unjuk rasa besar-besaran akibat pengebirian KPK dan sederet RUU bermasalah lain menjadi tamparan besar pagi pemerintah dan penguasa. Masyarakat ternyata tidak tinggal diam terhadap ketidakadilan. Namun, pemerintah melalui aparat penegak hukumnya menanggapi para pengunjuk rasa yang mayoritas adalah kelompok mahasiswa dengan cara represif dan menggunakan kekerasan yang eksesif. Buntut dari aksi reformasi dikorupsi adalah melayangnya nyawa lima orang.[6]
 
Akhir April 2020, Ravio Patra, peneliti kebijakan publik dan advokasi legislasi diciduk oleh polisi dengan tuduhan penyebaran berita bohong atau ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ravio menyatakan bahwa sebelum ia dibawa oleh polisi, ia menjadi korban peretasan melalui akun Whatsapp miliknya yang mengirimkan pesan ajakan menjarah. Kuat dugaan bahwa dugaan peretasan dan upaya kriminalisasi terhadap Ravio dilatarbelakangi kritik-kritik melalui media sosial Ravio terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani covid-19 dan konflik kepentingan staf khusus milenial Joko Widodo. [7] Sejak diundangkan, UU ITE terus memakan korban melalui pasal-pasal karetnya.

#BebaskanRavio
Sumber foto
 
Dalam situasi pandemi, masyarakat sipil mencatat peningkatan upaya-upaya represi dalam penanggulanan covid-19. Bukannya melakukan penyadaran masyarakat dengan pendekatan yang persuasif, polisi justru mengeluarkan Surat Telegram Kapolri Nomor 1100 terkait penanganan kejahatan siber selama penanganan covid-19 tertanggal 4 April 2020[8] yang mengatur secara khusus mengenai berita bohong, penghinaan presiden dan pejabat negara. Dampak pemberlakuannya tentu meningkatan kerentanan masyarakat yang mengkritisi langkah-langkah pemerintah dan presiden dalam menanggulangi covid-19, seperti Ravio. 

Salah satu pembungkaman paling masif pada masa pemerintahan Joko Widodo adalah pembungkaman terhadap gerakan aktivis Papua. Pada awal kepemimpinan di tahun 2015, Joko Widodo memberikan grasi kepada lima orang tahanan politik (tapol) Papua.[9] Hampir bisa dipastikan bahwa tindakan tersebut adalah pencitraan untuk mendongkrak citra humanis Joko Widodo. Pada tahun 2020, Veronica Koman, pengacara hak asasi manusia menyatakan bahwa ada 63 tapol Papua. Pemerintah ternyata membebaskan sedikit untuk menangkap lebih banyak. Para tapol Papua mayoritas dikenakan pasal makar yang bermasalah karena merupakan pasal karet untuk membungkam aktivis Papua. Kondisi opresi dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua memunculkan pertanyaan apakah benar Indonesia adalah negara demokratis? Dalam tatanan negara demokratis, tidak boleh ada tapol. Selain itu, jika Indonesia berpegang kepada Konstitusi, maka seharusnya pemerintah dapat memahami kalimat pertama Alinea Pembukaan UUD 1945.

Tahanan Politik Papua dalam Situasi Covid-19
Sumber foto
 
Di masa depan, demokrasi Indonesia semakin dipertaruhkan dengan proes pembentukan aturan-aturan yang secara gamblang berpotensi menyudutkan dan mengkriminalisasi kelompok rentan. UU Minerba baru saja disahkan secara tiba-tiba pada 12 Mei 2020, meskipun mendapat penolakan besar dari masyarakat. Terlebih lagi, DPR terkesan terburu-buru dalam mengesahkan UU Minerba dalam situasi covid-19. [10] RUU Pertanahan mengancam kriminalisasi petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah mereka.[11] [12] Ditambah paket Omnibus Law yang berpotensi memicu konflik sosial yang jauh lebih banyak ketimbang peningkatan investasi yang tidak dapat dijamin di masa depan.

Pemerintah tidak boleh melihat kritik sebagai bentuk perlawanan dari masyarakat. Praktik kebebasan berekspresi dalam bentuk kritik adalah obat pahit yang harus ditelan pemerintah untuk meningkatkan demokrasi Indonesia. Pemerintah harus merapikan jajarannya untuk membuka seluas-luasnya ruang berekspresi bagi masyarakat, terutama aparat penegak hukum agar tidak menjadi pelaku pelanggaran HAM. Pasal-pasal karet yang secara rekam jejak sejarah telah memakan banyak korban harus segera dihapus dan aturan-aturan ke depannya harus memastikan bahwa kebebasan yang dijamin Konsitusi dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.



[1] Badan Pusat Statistik, Indeks Demokrasi Indonesia 2014, 2015.
[2] Ibid, Launching Buku Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018, 2019.
[3] Rakhmat Nur Hakim, Perppu Ormas Disahkan, Pemerintah Kini Bisa Bubarkan Ormas, 2017. https://nasional.kompas.com/read/2017/10/24/16342471/perppu-ormas-disahkan-pemerintah-kini-bisa-bubarkan-ormas
[4] Joko Panji Sasongko, DPR Sahkan Perppu Ormas Jadi Undang-Undang, 2017. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171024135314-32-250616/dpr-sahkan-perppu-ormas-jadi-undang-undang
[5] Dimas Jarot Bayu, Koalisi Masyarakat Kecam Kriminalisasi Kasus Tuduhan Hina Megawati, 2017. https://katadata.co.id/berita/2017/09/09/koalisi-masyarakat-kecam-kriminalisasi-kasus-tuduhan-hina-megawati
[6] Adi Briantika, Komnas HAM: Aparat Diduga Langgar HAM Saat Aksi Reformasi Dikorupsi, 2020. https://tirto.id/komnas-ham-aparat-diduga-langgar-ham-saat-aksi-reformasi-dikorupsi-erz4
[7] Adi Briantika, Sejumlah Kejanggalan Pemeriksaan Ravio Patra Versi Pendamping Hukum, 2020. https://tirto.id/sejumlah-kejanggalan-pemeriksaan-ravio-patra-versi-pendamping-hukum-eUbY
[8] CNN Indonesia, Bermasalah, Kapolri Didesak Cabut TR Penghinaan Pejabat, 2020. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200406183752-12-490926/bermasalah-kapolri-didesak-cabut-tr-penghinaan-pejabat
[9] BBC Indonesia, Presiden Jokowi beri grasi untuk lima tapol di Papua, 2015. https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150509_papua_grasi_jokowi
[10] Anisatul Usmah, DPR Sahkan RUU Minerba: Sinkron dengan Omnibus Law!, 2020. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200512203346-4-158023/dpr-sahkan-ruu-minerba-sinkron-dengan-omnibus-law
[11] Dimas Jarot Bayu, RUU Pertanahan Dinilai Tak Berpihak ke Petani dan Masyarakat Adat, 2019. https://katadata.co.id/berita/2019/09/22/ruu-pertanahan-dinilai-tak-berpihak-ke-petani-dan-masyarakat-adat
[12] Haris Prabowo, Pasal Karet RUU Pertanahan: Mempidana Warga yang Menolak Digusur, 2019. https://tirto.id/pasal-karet-ruu-pertanahan-mempidana-warga-yang-menolak-digusur-eixc