Infografik Wabah PHK Akibat Covid-19 oleh Katadata Sumber foto |
Tulisan ini saya buat setelah
mendengar kabar perusahan tempat teman saya bekerja melakukan PHK dan pemotongan
upah besar-besaran. Teman saya adalah seorang lulusan sarjana hukum dari universitas
negeri ternama. Tidak terbayangkan kondisi pekerja dengan dimensi kerentanan
yang lebih tinggi di kala pandemi Covid-19. Semoga tulisan ini dapat membantu
semua pekerja untuk memastikan pemenuhan haknya selama masa Covid-19.
Imbas Covid-19 terhadap Pekerja
Berdasarkan data Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan, ada sekitar 2,8 juta
pekerja terkena dampak pandemi Covid-19 yang diakibatkan dari terhentinya
operasional perusahaan tempat mereka bekerja. Diduga terjadi banyak pelanggaran hak normatif pekerja yang dijaminkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selama situasi pandemi. Tulisan ini akan mengulas keabsahan PHK, pemotongan upah dan pemberian THR di tengah Covid-19 dalam kacamata hukum.
PHK akibat Covid-19. Sah atau tidak?
Tidak. Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang
memperbolehkan PHK tanpa adanya penetapan pengadilan dengan alasan Covid-19.
Prosedur PHK yang sah diatur
dalam Pasal 151 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 jo. Pasal 2 ayat (3) Permenakertrans
No. Per-31/Men/VI/2008 yang mensyaratkan adanya langkah bipartit, tripartit dan
permohonan penetapan PHK kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Tanpa adanya penetapan dari Pengadilan
Hubungan Industrial, maka PHK tersebut batal demi hukum.[1]
Jika perusahaan menggunakan
alasan keadaan memaksa (force majeur),
maka menurut Pasal 164 ayat (2) UU 13/2003, perusahaan wajib untuk membuktikan adanya kerugian dengan laporan keuangan selama
2 tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Idealnya, pekerja yang di-PHK secara sewenang-wenang
melakukan proses penyelesaian perselisihan hak sesuai dengan Undang-Undang No.
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU PPHI). Namun,
jika pekerja sepakat untuk menyelesaikan hubungan kerja dengan proses
negosiasi, berikut adalah hak-hak yang harus dipenuhi:
- Pekerja
PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Pasal 62 UU 13/2003 menyatakan pihak yang mengakhiri hubungan kerja wajib untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja.
Contoh: A di-PHK di Januari 2020. Perjanjian Kerjanya habis di Maret 2020. Pengusaha wajib membayar A sebesar 2 bulan upah (Februari dan Maret). Tidak ada hak atas pesangon. - Pekerja
PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu)
Pasal 156 ayat (1) menjamin 3 macam kewajiban pengusaha dalam hal terjadi PHK, yaitu: membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Tata cara
penghitungan Pesangon
Masa kerja
|
Pesangon
|
< 1 tahun
|
1 bulan upah
|
≥ 1 tahun tetapi < 2 tahun
|
2 bulan upah
|
≥ 2 tahun tetapi < 3 tahun
|
3 bulan upah
|
≥ 3 tahun tetapi < 4 tahun
|
4 bulan upah
|
≥ 4 tahun tetapi < 5 tahun
|
5 bulan upah
|
≥ 5 tahun tetapi < 6 tahun
|
6 bulan upah
|
≥ 6 tahun tetapi < 7 tahun
|
7 bulan upah
|
≥ 7 tahun tetapi < 8 tahun
|
8 bulan upah
|
≥ 8
tahun
|
9 bulan upah
|
Tata cara penghitungan
Penghargaan Masa Kerja
Masa kerja
|
Penghargaan Masa Kerja
|
≥ 3 tahun tetapi < 6 tahun
|
2 bulan upah
|
≥ 6 tahun tetapi < 9 tahun
|
3 bulan upah
|
≥ 9 tahun tetapi < 12 tahun
|
4 bulan upah
|
≥ 12 tahun tetapi < 15 tahun
|
5 bulan upah
|
≥ 15 tahun tetapi < 18 tahun
|
6 bulan upah
|
≥ 18 tahun tetapi < 21 tahun
|
7 bulan upah
|
≥ 21 tahun tetapi < 24 tahun
|
8 bulan upah
|
≥ 24
tahun
|
10 bulan upah
|
Tata cara
penghitungan Penggantian Hak
Hak
|
Cara penghitungan
|
Cuti tahunan yang
belum diambil dan belum gugur
|
Secara penghitungan
kasar:
Nominal cuti harian
= (Upah 1 bulan : 20 hari kerja)
|
Biaya/ongkos pulang
untuk pekerja dan keluarga ke tempat
di mana pekerja diterima bekerja
|
Biaya aktual
|
Penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan
|
15% dari uang
pesangon dan/atau uang penggantian masa kerja bagi yang memenuhi syarat
|
Hal lain yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
|
Sesuai aturan
|
Pemotongan upah akibat Covid-19. Sah atau tidak?
Tidak. Hingga saat ini, aturan pemotongan upah ada dalam Peraturan
Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) yang belum
mengatur mengenai pemotongan upah dengan alasan perusahaan merugi akibat
Covid-19. Dengan demikian, pemotongan upah akibat Covid-19 tidak memiliki
landasan hukum dan dapat menimbulkan terjadinya perselisihan hak.
Kemenaker telah menerbitkan Surat
Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang
Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan COVID-19 (“SE Menaker 3/2020”) yang mengatur sebagaimana
ditampilkan di bawah:
SE Menaker 3/2020 |
SE Menaker 3/2020 sangat
melindungi pengusaha. Tentu sulit bagi pekerja untuk berunding mengenai
perubahan besaran upah akibat adanya relasi kuasa antara pekerja dan pemberi
kerja. Pada akhirnya, banyak pekerja yang terpaksa menerima pemotongan upah
daripada tidak mendapatkan upah sama sekali.
Dianjurkan agar pekerja sebisa mungkin meminta bukti
kerugian perusahaan dan melakukan perundingan perubahan besaran upah dengan
didampingi serikat pekerja untuk menyeimbangkan posisi tawar (bargaining position).
Dalam kondisi pengusaha tidak
mampu membayar upah sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), maka perusahaan dapat mengajukan upaya
penangguhan pembayaran upah sesuai UMP ke Gubernur sesuai ketentuan Pasal
90 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 42
Tahun 2007 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Provinsi. Penangguhan ini melegitimasi perusahaan untuk
membayar upah di bawah UMP, namun selisih kekurangannya harus dibayarkan di
tahun berikutnya.
Hak atas Tunjangan Hari Raya (THR) dalam situasi Covid-19
Tetap wajib diberikan sesuai
dengan ketentuan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomer
M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan hari Raya (THR)
Keagamaan di Perusahaan dalam masa pandemi Covid-19.
SE Menaker 6/2020 |
Selain Posko yang disediakan oleh
Kemenaker, pekerja yang tidak mendapatkan THR sesuai dengan ketentuan yang ada
juga dapat melapor/mengadu ke lembaga penyedia layanan seperti Lembaga Bantuan
Hukum yang dipercaya.
∞
0 Comments
Post a Comment